Karya penulis favorit saya ini memang tidak pernah mengecewakan. Menyelesaikan sebuah buku sama seperti menyelesaikan sebuah film, perasaan yang ditinggalkan saat menjumpai kata TAMAT atau THE END adalah momen penentu, kesan apa yang kita rasakan terhadap karya tersebut, penilaian bagus atau jelek, PARAHHHHH bagusnya atau jeleknya, semua muncul pada di kalimat terakhir, scene terakhir. Di pinggir jalan sudut kota Yogyakarta, di bawah temaram lampu jalan, saya menyelesaikan karya akbar Dewi Lestari ini, Inteligensi Embun Pagi (IEP), dengan makian yang ga berhenti2 "anj***, f*ck, parahhhh..., ga masuk akal...(ada orang yang bisa nulis kayak gini)" makian setelah selesai menyaksikan karya fantastis yang meninggalkan luapan perasaan yang bikin geleng-geleng cukup lama.
Membaca Supernova dari 15 tahun terakhir seperti sebuah metamorfosa. 15 tahun yang lalu-saya, dan saya saya yang sekarang-seperti tidak pernah membayangkan perubahan bisa sedemikian jauhnya. Hal-hal yang terjadi dalam 15 tahun-bukan waktu yang singkat-bisa sedemikian banyaknya. Karya yang konsisten dalam waktu 15 tahun tentu bukan karya main-main, bukan karya tanpa maksud dan tujuan. Kalau ini adalah sebuah konser, standing applause adalah sesuatu yang sangat layak untuk Dee.
Perjalanan menyelesaikan buku IEP ini saya dapatkan dari inspirasi seorang pembaca lain di social media, ia mengatakan bahwa perlu waktu khusus untuk membaca "kitab" ini. Momen-momen sakral (baca : nikmat) saya lewatkan dalam berbagai scene (karena waktu saya udah nga seperti 15 tahun lalu yang bisa begadang ngabisin buku setebal 700 halaman), di berbagai kota, dalam berbagai suasana: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta; pagi, senja, malam, ketemu pagi lagi; dari ritual sakral di kamar mandi pagi hari; ritual kopi Gayo Aceh pagi hari; hingga senja di sudut kota Yogyakarta. Bukan hanya sebuah buku, tapi momen-momen yang akan saya ingat sepanjang hidup, betapa patut bersyukurnya saya atas hidup yang boleh saya nikmati ini (yang tentu tidak akan bertahan selamanya)- one of the most significant thing about Supernova adalah sekelibat kita akan memikirkan tentang "hidup", tentang kematian-.
Di sela-sela itu semua, saya menyempatkan diri belajar ulang dengan mengikuti berbagai kursus dan mempelajari bermacam referensi teknik menulis, termasuk berbagi pengalaman dan teknik menulis saya sendiri melalui rangkaian workshop ke berbagai kota. Betapa itu semua menyadarkan saya bahwa penguasaan seni menulis, sebagaimana hakikat seni pada umumnya, membutuhkan kerja keras dan pembelajaran seumur hidup. Bukan sekedar modal hasrat dan angan-angan. Seperti juga sebuah kebetulan-yang tidak pernah betul2 sebuah kebetulan-; saat saya membeli buku IEP, tangan saya seperti tidak mau terlepas dari buku belajar menulis berjudul "Menulis dan Berpikir Kreatif - cara spiritualisme kritis" karya Ayu Utami. Tidak pernah sebelumnya sedikitpun saya berpikir bahwa kemampuan menulis perlu dipelajari, perlu diasah. Semoga tahun ini ada sedikit jalur yang saya buka untuk sebagian jiwa saya yang terus memanggil, untuk berkata-kata dalam tulisan, untuk berbincang-bincang dalam kata. Tidak pernah ada namanya kebetulan, begitu juga saat Dee menyelesaikan karya besarnya, saat kalian membacanya, saat kalian membaca tulisan ini. Semua ada tujuannya, semua ada perannya, dalam hidupmu.
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories
All
Archives
May 2023
AboutNothing brings people together like good food |